Sejarah Desa Mudal tidak dapat dipisahkan oleh tokoh Ki Ageng Wonotoro. Konon diceritakan bahwa pada zaman dahulu jauh sebelum negara kita Indonesia ini merdeka ada seorang pemimpin atau pemuka warga disebuah kawasan atau wilayah yang disebut pedukuhan Wonotoro yang sekarang ini masuk diwilayah Sambi. Sang pemuka warga oleh masyarakat disebut dengan gelar atau sebutan kehormatan Ki Ageng Wonotoro. Sampai saat sekarang tidak ada yang mengetahui nama asli Ki Ageng Wonotoro karena tidak adanya saksi atau bukti yang menjelaskan tentang semua itu.
Dari cerita yang ada disebutkan bahwa Ki Ageng Wonotoro adalah seorang tokoh agama, Disamping itu beliau juga mempunyai seorang rewang/abdi (pembantu) yang sangat setia bernama Tirto Negoro. Kesetiaan sang abdi terbukti dengan apapun yang diperintahkan pasti dilaksanakan tidak pernah sekalipun menentang. Pada suatu ketika terjadi musim kemarau yang berkepanjangan yang mengakibatkan para petani mengalami gagal panen karena tak ada hujan atau irigasi pengairan. Rasa keprihatinan yang mendalam dengan kondisi yang ada serta kepercayaan yang tinggi dari masyarakat maka beliau berfikir bagaimana agar dapat mengatasi permasalahan yang ada terutama kekeringan.
Selanjutnya Ki Ageng Wonotoro memerintahkan pada sang abdi, Tirto Negoro untuk menemui penjaga Gunung Merbabu (dalam kepercayaan jawa disebut sing Mbaurekso) yaitu Kyai Slamet atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Petruk untuk meminta petunjuk mengatasi atau mencari solusi menangulangi kekeringan yang terjadi. Ki Ageng Wonotoro berpesan kepada sang abdi agar jangan sampai kembali dengan tanpa membawa hasil.
Tugas yang diberikan dirasakan sangat berat namun sang abdi tetap menyanggupi dan menjalani. Karena tugas yang diemban sangat berat maka Tirto Negoro senantiasa berdo’a mohon pada sang Maha Kuasa agar dimudahkan dalam menjalankan tugas yang dibebankan padanya. Tidak hanya itu selain selalu berdo’a juga di ihktiari dengan melakukan topo ngrame artinya selalu berbuat baik dan memberi bantuan pada siapapun yang membutuhkan walaupun tidak diminta. Singkat cerita sesampainya sang utusan di Gunung Merbabu pun tidak serta merta langsung dapat bertemu dengan Mbah Petruk.
Sebenarnya dari awal belum ada kepastian tempat yang dituju untuk dapat bertemu atau menemui Mbah Petruk, hanya satu yang pasti yaitu dituju yaitu Gunung Merbabu. Selanjutnya Tirto Negoro bertapa di suatu tempat di Gunung Merbabu untuk madapatkan petunjuk.
Setelah sekian lama bertapa Mbah Petruk berkenan menemuinya.Tirto Negoro menyampaikan kepada Mbah Petruk apa yang menjadi tugas atau tujuannya. Mbah Petruk kemudian memberikan berbagai macam nasehat, salah satunya bahwa apa yang diinginkan akan dapat terlaksana yaitu akan munculnya sumber air di daerah asalnya, Wonotoro. Mbah Petruk juga berpesan wanti-wanti agar dalam perjalanan pulang nanti jangan pernah menengok/menoleh kebelakang walau apapun yang terjadi.
Dalam perjalanan kembali pulang Tirto Negoro menemui dan mangalami banyak sekali godaan dan ujian antara lain adanya suara ayam yang bertarung, ada juga suara bergemuruh separti angin topan, suara seperti banjir bandang, ada juga gangguan seperti ada yang memangil untuk berhenti singgah/mampir. Semua gangguan dan ujian dapat dilalui dengan tetap memegang teguh apa yang menjadi pesan Mbah Petruk yaitu tidak menengok ke belakang.
Di suatu tempat sang utusan, Tirto Negoro mengalami ujian yang membuatnya menjadi ragu apakah merupakan ujian atau benar-benar kejadian nyata. Hal yang membuatnya ragu karena dia mendengar suara anak gadisnya yang berteriak minta tolong karena mengalami perampokan dan juga aka diperkosa oleh perampok. Ibarat bagaikan makan buah simalakama, namun jika tidak menolong dan itu merupakan kejadian nyata berarti dia bersalah dan berdosa karena membiarkan anak gadisnya menjadi korban kejahatan.
Tirto Negoro memilih untuk menyelamatkan anak gadisnya, namun ketika dia menengok kebelakang ternyata anak gadisnya tidak ada. Seketika di tempat itu muncul sumber air yang sangat besar (mubal-mubal) lantas dia berujar suatu ketika nanti ada rejane jaman (keramaian/kemakmuran) daerah ini akan diberi nama Mudal dari kata mubal-mubal. Rasa terkejut dan bingung lantas diambilnya sebongkah batu untuk menutupi sumber air tersebut, namun sumber itu tetap menyembulkan air yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan umbul Tlatar.
Tirto Negoro melanjutkan perjalanan kearah utara, dalam perjalanan dia mendengar suara tangisan bayi lantas dia menoleh kebelakang dan seketika itu juga munculah kembali sumber air namun lebih kecil dari yang pertama yang sekarang dikenal dengan nama umbul Ngrancah. Ketika Tirto Negoro menghadap kepada Ki Ageng Wonotoro dan menyampaikan semua yang telah dilalui dan dialami, dia mendapatkan kemarahan. Dinilai telah gagal dalam menjalankan tugas maka dia kemudian diusir. Dalam perjalanan pergi karena telah diusir tak henti-hentinya dia merenung dan memikirkan semua yang telah terjadi. Disuatu tempat yang ada sumber air dia beristirahat dan menetapkan hati dengan keyakinan bahwa sebagai abdi dalem (makna abdi = hamba = rewang = pembantu, dalem = saya = sendiko = iya/selalu mengiyakan) memang harus selalu siap dan menerima kenyataan bahwa tak mungkin/mustahil melebihi/ mengalahkan bendhoro. Sumber air tempat beristirahat dan merenung itu saat ini dikenal dengan nama umbul Sedalem dari kata abdi dalem.
Selanjutnya masih berdasarkan dongeng, hikayat, riwayat, cerita atau sejarah ada yang menyebutkan bahwa umbul Tlatar sebagai asal mulanya penyebutan mubal menjadi mudal yang kemudian menjadi sebutan desa “ Mudal ” seperti yang disebutkan pada cerita rakyat diatas dulunya adalah merupakan sebuah kesatuan wilayah. Kemudian mungkin disebabkan karena keadaan serta letak geografinya maka tidak dimasukan menjadi bagian dari desa Mudal, dengan sebutan Tlatar dan sampai saat ini menjadi bagian dari desa Kebonbimo.